UPACARA ADAT SIRAMAN GONG
KYAI PRADAH
oleh: Dwi Apriliawati
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh17ow2hGIzROPVfooHSjqeJd6NhyaovBm7JM0euu8fHZsFUuEWr4HMv4NVT6irAQ__SBBOX2rzY7n3Fm6lbNCf9PM0KnOLVH4uK5Af9tnlld-ZSmbmWZOVocJBIVUv6OsQ4temNkL00U8/s200/Gong+Kyai+Pradah.jpg)
Prosesi upacara yang
melibatkan banyak masyarakat baik masyarakat lokal maupun masyarakat interlokal ini biasanya diawali dengan arak-arakan
yang dilakukan dengan membawa Gong Kyai Pradah berkeliling mengitari komplek
perumahan yang ada di Desa Lodoyo. Para masyarakat dengan antusias setia
mengiringi prosesi arak-arakan ini, sebagian dari mereka yang masih percaya
dengan mitos-mitos yang menyebar senantiasa mengiringi acara dengan mengharap
tuah yang ada pada gong tersebut, sedang yang lainnya hanya ingin melihat betapa
ramainya prosesi upacara siraman gong Mbah Pradah. Setelah selesai mengitari sekeliling desa, gong dibawa oleh para
juru kuncinya pada suatu tempat yang memang sudah biasa digunakan untuk
menghelak upacara adat tersebut. Dan acara intipun telah tiba yaitu prosesi
siraman gong. Gong Mbah Pradah disiram dengan
menggunakan bunga tujuh rupa atau yang biasa disebut dengan bunga setaman. Kemudian air sisa siraman tadi di tampung dalam sebuah wadah yang nantinya akan
menjadi rebutan orang-orang yang mengharapkan tuah dari pada gong tersebut.
Upacara ini dilaksanakan secara rutin setahun dua kali berdasarkan penanggalan
jawa yaitu setiap tanggal 12 Maulud dan pada tanggal 1 Syawal. Tanggal-tanggal pelaksanaan tersebut ditentukan bukanlah dengan cara
asal-asalan atau didapat dari wangsit, akan tetapi tanggal tersebut ditetapkan
berdasarkan pesan dari Pangeran Prabu yang diwariskan secara turun temurun
berdasarkan kisah yang menyebar selama ini.
Adapun kisah yang mengawali
adanya prosesi upacara adat siraman Gong Kyai Pradah adalah konon pada saat penobatan
tahta Kerajaan Kartasura, Sri Susuhunan Pakubuwono I yang merupakan putra
mahkota kerajaan, beliau mempunyai seorang saudara seayah yang merupakan anak
dari raja Kerajaan Kartasura dengan seorang selirnya. Ketika Sri Susuhunan
Pakubuwono I dinobatkan menjadi seorang raja, Pangeran Prabu merasa sakit hati
dan ia berniat membunuh Sri Susuhunan Pakubuwono I, namun
upayanya diketahui. Dan sebagai hukuman atas kesalahannya itu Pangeran Prabu
diutus untuk menebang kayu di hutan Lodoyo. Yang mana ketika itu hutan Lodoyo
masih dikenal sebagai daerah yang sangat wingit (angker) dan banyak dihuni binatang buas. Pangeran Prabu
menyadari akan kesalahannya dan untuk menebus kesalahan yang telah dilakukanya
tersebut, beliau bersedia untuk berangkat ke hutan
Lodoyo dan diikuti oleh istrinya yang bernama Putri Wandansari dan abdinya yang
bernam Ki Amat Tariman dengan membawa pusaka bendhe
(serupa dengan gong) yang diberi nama Kyai Bicak, yang akan digunakan sebagai tumbal (penolak bala) di hutan Lodoyo.
Kemegahan istana ditinggalkan,
dan merekapun mulai perjalanan keluar masuk hutan, naik turun gunung, menyusuri
lembah ngarai. Dan hingga akhirnya tiba di kawasan Lodoyo yang masih berupa
hutan belantara yang sangat angker. Walaupun
demikian Pengembaraan jauh itu mereka lakukan dengan penuh ketabahan dan
ketenangan, karena mereka percaya tidak akan menghadapi marabahaya apapun
selama mereka masih membawa pusaka bendhe Kyai
Bicak. Sementara untuk menenangkan hati, Pangeran Prabu memilih untuk melakukan
nepi (menyendiri) di hutan Lodoyo. Bendhe Kyai Bicak dan abdi setianya Ki Amat Tariman
beliau titipkan kepada Nyi Rondho Patrasuta dengan meninggalkan pesan bahwa
setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Sawal, bendhe tersebut harus
disucikan dengan cara disirami atau dijamasi air bunga setaman
dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk mengobati
orang sakit dan sebagai sarana ketentraman hidup.
Setelah lewat beberapa lama Ki
Amat Tariman merasa sangat rindu kepada Pangeran Prabu. Ia kemudian
berjalan-jalan di hutan, tetapi di tengah perjalanan ia
tersesat dan kebingungan, karena bingungnya Ki Amat Tariman memukul bendhe Kyai Bicak 7 kali dengan harapan ada petunjuk
ataupun pertolongan dari orang-orang yang mendengar pukulan bendhe tersebut,
terutama ia bermaksud agar Pangeran Prabu yang menolongnya. Namun
perkiraannya meleset, bukan orang-orang sekitar yang datang atau Pangeran Prabu, tetapi harimau
yang berbadan besar-besar. Namun ajaibnya, harimau-harimau tadi tidak menyerang atau mengganggu Ki Amat
Tariman tetapi justru menjaga keberadaan beliau, dan sejak itu bendhe Kyai Bicak diberi nama Gong Kyai Pradah yang
artinya harimau.
Semenjak peristiwa tersebut terjadi dan sampai sekarang, adat siraman ini
masih tetap diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini dikarenakan
mereka masih percaya bahwa ritual ini mempunya manfaat dalam kehidupanya.
Mereka mempercayai bahwa ucapan dari Pangeran Prabu yang mengatakan bahwa sisa
air siraman Gong Kyai Pradah dapat menyembuhkan berbagai penyakit
dan menambah ketentraman jiwa adalah benar. Bahkan ada yang mempercayai behwa
air sisa tersebut juga dapat membuat orang yang meminumnya lebih awet muda.
Upacara adat siraman pusaka Gong
Kyai Pradah juga dapat menambah rasa kesatuan,
persaudaraan serta kegotong royongan antar warga Lodoyo. Selain itu kegiatan
ini dapat menjadi salah satu aset wisata budaya di Lodoyo hususnya dan di Indonesia umumnya.
Ritual ini mengandung nilai-nilai
budaya luhur warisan nenek moyang. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah tradisi tersebut
tetap dilestarikan dan lebih dikenalkan pada khalayak interlokal dan pada
generasi muda supaya mereka tidak kehilangan tapak-tapak sejarah.
0 komentar:
Posting Komentar